Entah mengapa dalam tulisan ini saya menambahkan angka 3 dibelakangnya. Mungkin jiwa eksistensialis saya yang menginginkannya. Karena pada dasarnya saya ini pemalu, tidak ingin terlalu tampil. Tapi ternyata saya sudah tampil 3 kali dalam dunia “ini”.
Suatu hari setahun yang lalu, saya sedang menghabiskan malam bersama seorang teman dan beberapa rekan kantornya di sebuah restoran daerah dharmawangsa. Kami makan dengan lahap seolah tidak akan ada hari esok yang lebih nikmat lagi. Seperti ini mungkin cara kami makan, cara orang-orang iklan makan. Terburu-buru, karena memikirkan deadline di belakang sana.
Setelah makan selesai, obrolan seputar iklan pun merebak. Seseorang dari mereka bertanya,
“Posisi lo apa do di kantor?”
“Oh, gw Graphic Designer”
“Lha, umur lo kan udah ketuaan sebagai graphic designer”, tanya nya kembali.
“Memang kenapa”, jawab saya.
“Gw ini baru 23 tapi dah jadi Art Director”, katanya dengan bangga.
hahahha… saya tertawa dalam hati, kembali seseorang yang baru lulus kemaren sore sekarang berbangga hati karena sudah menjadi seorang “direktur”.
“Bukan itu kok yang sebenarnya gw cari, mungkin juga gw saat ini belum cocok mendapatkan posisi itu, toh gw baru 1 tahun masuk agency. dan kebetulan posisi itu yang kosong, lagian ini kan cita-cita gw dari dulu pas kuliah pengen kerja di iklan, jadi gak papa lah. itung-itung cari pengalaman dulu sebelum masuk jenjang yang lebih tinggi”, jawab saya sok bijak.
“Ooohh… dulu waktu magang, elo gak magang jadi Art Director ya?” tanya nya kembali.
“Hahahha… magang? gw dulu malsuin laporan magang gw. Waktunya mepet, ya udah gw minta data aja sama temen gw yang magang jadi AE,” jawab saya.
“Jadi lo gak sempet magang di agency as creative”, tanyanya penuh rasa ingin tahu.
“Enggak, gw malah magang di majalah untuk posisi GD, itu juga karena gw pengen ngerasain kerja kantoran”, jawab saya tetap tenang.
“oh gitu…”, jawabnya sambil mengunyah rempah daging.
“ah, posisi creative yang basenya art mah, sama aja GD atau AD,” temen saya tiba-tiba menyahut.
“Iya tapi kan gajinya tinggian AD, secara dia yang mikirin konsepnya,” jawab temannya yang sedari tadi bertanya kepada saya.
“Emang sih, tapi kalo yang lo cari uang, ya… mungkin akan kesana, tapi kalo yang lo cari adalah rasa, mungkin beda”, jawab saya.
“Emang lo gak butuh uang do,” tanya nya kembali.
“Sangat butuh, gimana mau gaya kalo gw gak punya uang,” jawab saya.
“Nah, terus kok elo mau jadi GD, padahal umur lo seharusnya jadi AD,” kembali dia mengusik.
“Ah, buat gw sih apapun itu selama gw suka, gw akan lakukan, dan orang juga akan tahu nanti,” jawab saya.
“Meski nanti lo ditawarin jadi Jr.GD lo ambil,” tanyanya kembali.
“Iya gw Jr.GD yang gajinya dollar,” jawab saya.
“Kok bisa,” semakin penasaran dia.
“Ya, bisa dong, kenapa enggak,” jawab saya memancing pertanyaannya.
“Kenapa bisa begitu,” kembali dia bertanya mantap.
“Karena lo tanya gitu…,” saya jawab menggantung.
“Maksud lo…?” tanyanya makin bingung.
“Karena lo berpikir gw gak mau jadi Jr. GD yang pastinya gajinya lebih minim lagi, dan ini adalah pertanyaan imajinatif elo, kenapa enggak gw ngejawab dengan imajinatif juga, toh gw bekerja sebagai Jr. GD yang setiap hari bakal ketemu sama David Droga, dan karena itu gw “mendapatkan” lebih dari yang lo dapat sebagai AD disini”, jawab saya dengan agak keras.
Obrolan pun berhenti sejenak, dan ternyata sedari tadi saya perhatikan meja makan itu yang dibagi menjadi 2 dengan 8 buah kursi untuk kami masing-masing menjadi senyap karena obrolan kami yang ntah apa juntrungannya ini. Semua orang di meja itu menatap ke kami semua. Dan teman saya hanya tersenyum kecil melihat polah rekannya yang agak-agak “snob” ini.
“Woi, jangan pada berantem apa, ntar kalian pada kelahi, mau pesen lagi gak…”, sahut teman saya sambil menawarkan menu kepada yang lain.
“Kopi dong…”, jawab saya.
“Eh, iya boleh tuh…”, jawab yang lain.
Setelah semua kembali seperti biasa, dan keriuhan kembali terdengar di meja ini. Samar-samar saya mendengar teman saya yang sedari tadi membahas tentang GD dan AD ini bertanya kepada teman di sebelahnya.
“David Droga siapa sih”, tanyanya pelan.
Saya tersenyum kecil sendiri mencuri dengar obrolan bawah meja itu.