Semua orang di negeri ini sudah bisa dipastikan sebagian besar menyukai olah raga sepak bola. Ada apa sebenarnya dengan sepak bola dan negeri ini? Ah, ini hanya sekedar latah saya saja dengan kejuaraan Piala Asia yang sedang berlangsung. Semua orang termasuk pacar saya, yang secara tiba-tiba menyukai sepak bola. Dia berkata, “Ini kandang kita, membuat saya tiba-tiba menjadi nasionalis.” Slogan yang cukup membuat bulu kuduk merinding, apalagi ditambah dengan visual yang sebesar itu di sepanjang jalan Asia-Afrika.
Ini kandang kita…! Iya benar sekali… Apakah Merah Putih bisa berkibar di kandang sendiri? Apalagi sekarang sudah mulai banyak kompetitor yang ingin berkibar juga. Sebut saja RMS dan Negara Papua Merdeka. Tetapi saya tetap percaya dengan salah satu teori pemasaran. “Mejadi yang pertama akan selalu lebih menguntungkan dibandingkan menjadi yang terbaik.”
Sudahlah… tulisan ini adalah tentang sepak bola dan merah putih, bukan separatis dan merah putih. Mungkin lain waktu akan saya buat tulisan mengenai itu.
…
Maaf kepotong sedikit, karena saya harus menyaksikkan pertandingan Merah Putih dahulu tadi. Hasilnya sudah terlihat 1-0 untuk Korea Selatan. Apa pendapat anda tentag pertandingan itu? (bagi yang menonton tentunya). Jika anda tanyakan kepada saya, jawaban saya adalah “sudah biasa…, tak sedih lagi”. Betul kan? Apa yang harus kita sedihkan? Lah wong, sudah biasa kalah kok. Kecuali kalo menang, wah…, saya bisa traktir anda semua yang membaca tulisan ini.
Coba kita perhatikan, pasti banyak pembicaraan mengenai pertandingan Merah Putih dan Korea Selatan itu. Yang sering saya dengar ketika membahas pertandingan sepak bola Merah Putih dan tentu saja dengan keadaan seperti yang sudah-sudah (kalah). Wasitlah yang dibicarakan…, wasitnya curang, wasitnya berpihak, wasit tidak tegas, wasit ini…, wasit itu…, dan lain-lainnya. Coba salahkan diri kita sendiri, kenapa kita tidak menjadi wasitnya saja? Atau mungkin kenapa kita tidak menghakimi itu pengurus PSSI yang korup. Ya, siapa lagi selain Nurdin Khalid… Ah, sudahlah, malas saya ketika harus membahas manusia-manusia korup itu. Yang ingin saya bahas adalah kebiasaan kita mencari kambing hitam atas kegagalan yang kita buat sendiri. Sampai kapan kita harus mencari kambing hitam terus? Karena saya rasa banyak sekali kambing hitam yang berkeliaran di luar sana. Kambing hitam mana yang musti menanggung semua ini? Coba kita berkaca, ya cobalah berkaca, kita pasti akan melihat seekor kambing hitam besar yang bibirnya berbusa dan suaranya serak karena sering berteriak-teriak mencari kambing hitam. Tidak sadar bahwa dia sedang mencari dirinya sendiri.
Yah, seperti itulah kita…, bisanya hanya berbicara dan berkomentar (seperti yang saya lakukan ini). Tetapi ketika disuruh bertindak dan berbuat… Mmm…, anda sudah bisa mengira-ngira akan seperti apa jadinya nanti. Tidak percaya? Coba anda tanyakan pada diri anda sendiri? Sekali lagi kambing hitam yang dicari… Pernah kan?
Sepak Bola … Merah Putih … Ini kandang kita? Yah, masih tetap ini kandang kita, meski harus kalah dalam kandang. Tetap ini kandang kita. Merah Putih sudah berjuang dengan semangat tak kunjung padam. Memang harusnya seperti itu dan tidak ada yang istimewa dengan hal itu. Siapa pun yang ingin menang, semangat adalah yang nomor satu selebihnya hanya sebuah faktor pendukung. Teknik? Ah, mau bicara teknik sepak bola dari negeri yang penjajahnya saja tidak pernah juara dunia. Apa yang mau diharapkan? Memang Belanda memiliki total football, tetapi Indonesia menterjemahkannya dengan teknik orak arik…!
Ah… Apalagi ya…? Sumpah serapah apa lagi yang bisa kita keluarkan untuk diri kita sendiri?
Oh, iya satu lagi, kita juga selalu cepat puas dengan segala keberhasilan yang kita buat. Padahal keberhasilan itu bukan hal yang memuaskan menurut saya, ada keberhasilan lain di atasnya. Dan begitu terus, keberhasilan itu seperti anak tangga yang bergerak naik pada eskalator, yang menuntut kita untuk tidak berdiam diri. Jika kita berdiam diri maka kita akan turun… dan kita akan kembali pada titik awal lagi. Ah… ceramah apa lagi ini…? Maaf kalo saya terdengar seperti menceramahi, maklum lah, ini bagian dari sumpah serapah saya.
Apa yang kita bisa perbuat untuk bisa berhasil? Wah, jangan tanyakan hal itu kepada saya, karena sekarang saja saya sedang bingung kenapa eskalator yang saya naiki ini bergeraknya cepat sekali ya… Cape saya, dan akhirnya mengambil nafas lagi deh di bawah.
Tadi pagi, sahabat saya membawakan sebuah buku, judulnya Perfect Pitch karya Jon Steel, salah seorang maestro di bidang marketing dan pemasaran, dia adalah strategic planner. Saya tertarik oleh sebuah kutipannya yang diambil dari Bill Bernbach. Kutipan itu berbunyi begini kira-kira, “In this very real world, good doesn’t drive out evil. Evil doesn’t drive out good. But the energetic displaces the passive”.
Tetap semangat adalah penutup dari tulisan yang menemani kekalahan kita hari ini.