Bajaj Warna Merah

Cerita nostalgia bajaj warna merah sebagai moda transportasi era 90-an.

Bajaj Merah Warnanya by Dadyka

Bajaj warna merah pun punah

Kapan terakhir kali melihat bajaj berwarna merah seliweran di jalanan ibu kota? Kapan terakhir kali naik bajaj yang berwarna merah?

Terakhir kali saya naik bajaj itu kalau tidak salah, sekitar tahun 2014 di daerah Kelapa Gading. Kendaraan satu ini memang penuh dengan romantika. Meskipun dengan kondisi seadanya, tetapi paling dicari untuk bepergian jarak dekat dan menengah. Salah satu yang selalu saya “kagumi” adalah teknologi keamanan kendaraan abad 21 ala Bajaj, kunci pintu gerendelnya.

Bajaj warna merah punya cerita lain bagi saya dan teman-teman saat kami masih sekolah dasar. Bajaj adalah tolak ukur kekuatan menggenjot sepeda bagi kami. Dimana setiap kali ada bajaj lewat, kami bergantian untuk mengetes kecepatan dan kekuatan.

Pada jalan menanjak dan jalan datar adalah track uji kemampuan kami. Terkadang hal ini memberi hiburan tersendiri bagi pengemudi bajaj. Meskipun sering kali tatapan mereka memberi kesan terlecehkan.

Selain itu, melihat bajaj yang sedang kesusahan sering kali menjadi bahan tertawaan. Bajaj masuk ke dalam selokan, bajaj tidak kuat menanjak lalu mundur dan terjungkal, dan kesusahan lainnya adalah hiburan bagi kami.

Dulu saya berpikir bahwa bajaj warna merah adalah bajaj terbaik dibanding yang berwarna hijau atau kuning. Tetapi pada kenyataannya memang itu yang terjadi, karena setiap kali saya melihat bajaj hijau atau kuning pasti kondisi kendaraannya lebih berantakan. Perbedaan warna bajaj ini pun sepanjang yang saya tahu adalah untuk menandakan daerah operasional berdasarkan kotamadya Jakarta. Saya belum menemukan validitas atas informasi ini.

Tawar menawar bajaj

Saat kita naik bajaj, kita harus melakukan tawar menawar dengan pengemudi bajaj. Hal ini menjadi hal yang seru saat saya memperhatikan bagaimana ibu saya melakukan tawar menawar. Harga permintaan pengemudi bajaj Rp 15,000 bisa ditawar jatuh sampai Rp 2,000 oleh ibu. Rekor tersebut tidak pernah bisa saya patahkan sampai akhirnya bajaj masuk museum. Paling kecil saya bisa nawar sampai Rp 5,000, itu pun dibuka dari Rp 10,000.

Sebuah jurus yang pernah saya dengar dari ibu adalah kata-kata, “jangan segitu dong, deket kok, dua ribu ya”. Abang bajaj warna merah langsung mengengkol bajajnya tanda setuju. Tetapi ketika saya yang melakukan itu, abang bajaj berkata, “jalan aja sono kalo deket.”

Lah iya ya, bener juga. Kampret!