Setelah membaca rubrik Pencerahan di Ad Diction edisi terbaru yang ditulis oleh Ade Armando, seorang manta anggota KPI. Saya kembali mengangkat isu tentang buruknya lembaga penyiaran republik ini.

Tulisan saya sebelumnya, mengenai isi pemberitaan media yang berdasarkan asas “Bad News is a Good News”. Ternyata tidak sekedar isi pemberitaan media saja, tetapi kita pun juga “dikungkung” oleh program acara TV yang sama buruknya.

Seperti misalnya, sinetron yang dianggap utopis dalam penyajiannya. Dengan penggambaran keluarga kaya dengan segala permasalahannya, dengan rumah gedong, mobil belerot mereka mempertontonkan kejadian sehari-hari dan dibungkus oleh cerita-cerita yang diharapkan mampu menderai mata penontonnya. Cerita-cerita tentang pecahnya sebuah keluarga dan memperebutkan harta gono-gini, tentang anak gelandangan yang diangkat anak oleh seorang kaya tetapi mendapatkan perlakuan buruk dari salah satu anggota keluarga kaya tersebut (biasanya si ibu). Atau ditambahkan bumbu mistis yang si anak bisa berubah menjadi monyet. Atau yang lebih parah, karena menurut si pembuat sinetron, banyak permintaan untuk memperpanjang episode sinetronnya. Sehingga pada akhirnya tampak sangat dipaksakan, misalnya tentang legenda Joko Tarub yang pada episode selanjutnya berpetualang dan bertempur dengan monster-monster. Atau tentang sinetron yang menggambarkan tentang hukuman-hukuman yang bersifat langsung dari Tuhan karena anak yang durhaka, istri yang durhaka, suami pemabuk dan istri penyabar (terdengarnya seperti salah satu judul sinetronnya).

Belum lagi tentang tontonan bioskop yang melulu menyajikan film-film horor. Seperti jualan kacang goreng di jalan. Karena satu orang dagangannya laku, lalu berdatanganlah penjual kacang goreng lain. Memang secara teori pemasaran, jika kita ingin melakukan dagangan, kita harus mendekatkannya dengan dagangan orang lain yang laku duluan. Seperti juga para pedagang makanan yang membubuhkan kata “Pak Kumis” di belakangnya. Saya kurang tahu, siapa pak kumis yang asli.

Film horor mungkin menggunakan konsep itu juga, dimulai dengan sepak terjang Film Jelangkung I, lalu berderetlah para produser film menyuguhkan skenario horor kepada sponsor dengan dalih sebagai film horor paling seram dan akan mendatangkan penonton yang banyak. Yang paling terkini adalah Scary Movie-nya Indonesia, yang dengan pongah mengatakan sebagai film hantu paling lengkap. “Semua hantu deh, ada disini” (pengucapannya disamakan dengan program acara TV “Campur-campur” yang sempat ditayangkan di ANTEVE beberapa tahun silam).

Tidak puas dengan tontonan bioskop, genre horor pun diangkat ke layar kaca dan berharap penonton pun memuaskan ketakutannya akan makhluk halus di TV. Penggunaan ulama-ulama Islam atau paranormal pun laku keras disini, masih untung (ungkapan orang Jawa jika terkena musibah) tidak ada tokoh yang bernama Suketi (masih ingat? Tokoh film horor yang diperankan Suzanna dalam film Sundel Bolong era 80-an)

Saya tertarik dengan penjelasan Ade Armando tentang masalah rating. Dia tidak begitu percaya dengan rating yang disuguhkan dalam data statistik. Karena menurutnya, rating tersebut tidak mencerminkan keinginan penonton. Karena penonton terpaksa menonton tontonan buruk karena tidak ada tontonan yang lebih bagus. Toh, kalau ada tontonan yang lebih bagus, pasti akan ditonton juga. Sinetron PPT (Para Pencari Tuhan) misalnya, saat ini jika kita melihat ratingnya jauh di atas “tontonan wajib” bulan puasa lain yang menyajikan lelucon slapstick dan penyajian kuis yang asal (pertanyaan yang bodoh dan kurang menghargai masyarakat yang menelepon, kenapa? Karena masyarakat yang menelepon “disuruh” menunggu, sementara pembawa acara melakukan slapstick).

Jadi memang sebenarnya, masyarakat kita sudah pintar dan bijak dalam menseleksi tontonannya. Yang belum pintar dan bijak justru pihak yang menyajikan tontonan tersebut.

Satu lagi fakta terungkap di negeri ini, bahwa kasus bunuh diri di Indonesia adalah yang tertinggi di dunia. Dengan 136 orang bunuh diri setiap harinya menurut badan dunia WHO. Fakta bahwa semakin tipisnya harapan hidup masyarakat Indonesia. Fakta ini berdasarkan penelitian di daerah-daerah yang terkena bencana, bagaimana kalau ditambah dengan terpaan media yang melulu menyajikan berita buruk.

Ah, memang banyak sekali keburukan orang lain di mata kita sendiri jika mau dituangkan dalam tulisan ini. Tapi ini sekedar wacana saja untuk membuat lingkungan kita lebih baik. “Make it better place, for you and for me…” begitu kata Michael Jackson dalam lagu Heal the World. Kita bisa…!